Jeng Jeng
Geng Meos Bekwan tiba di tujuan sekitar pukul 11.00 WIT tentunya setelah terombang ambing hampir 23 jam di lautan. Kedatangan kami disambut dengan meriahnya suling tambur dan barisan anak-anak kecil serta barisan bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-kakek dan nenek-nenek warga asli Kampung Meos Bekwan. Setelah disambut dengan kalungan bunga kami pun dibawa menuju rumah yang akan kami tempati selama pelaksanaan K2N di Meos Bekwan. Oia, sebelum kemana-mana saya perkenalkan dulu susunan anggota Geng Meos Bekwan. Kami terdiri atas saya sendiri (FH 09), Avina Anin Nasia (FKG 08), Monica Utari Mariana ( FKM 08), Dona Niagara Dinata ( FIB 08), M. Ikhwan Kurniawan (FT 09) dan tak terlupa tentu saja dosen pembimbing kami yaitu dr. Cin Yong. Yak lanjuuut. Mungkin banyak yang bertanya-tanya semacam apakah Meos Bekwan ini? Kalo boleh saya menjawab singkat (tapi gak singkat juga ding) Meos Bekwan ini adalah seberkas tanah yang terlempar dari surga (ceileee bahasanya, gak sesuai banget sama kepribadian :p). Pulaunya indaaaah banget, hamparan pasir putih + pohon kelapa sungguh menentramkan mata. Meos Bekwan sendiri berasal dari bahasa Biak yang artinya Pulau Panjang, nama ini bukan sembarang nama karena memang demikian adanya bentuk pulau ini. Pulau yang luasnya cuma 12 hektar ini terbentang dari utara hingga selatan membelah perairan Kepulauan Ayau. Cuma butuh waktu satu jam untuk mengitari pulau ini tapi butuh waktu seumur hidup untuk terus terkenang pada keindahan dan keramahan penduduknya.
Ngomong-ngomong tentang penduduk, ijinkan saya selaku pengampu Blog ini untuk membagi pengalaman hidup saya bersama penduduk di Pulau Meos Bekwan. Sekitar hampir 100% penduduk pulau ini berasal dari suku biak dan sisanya adalah pendatang. 100% penduduk pulau ini beragama Kristen Protestan. Hampir 100 % penduduk pulau ini memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Meski saya seorang muslim, namun di pulau ini saya mendapatkan pengalaman religius yang luar biasa dan selain itu saya juga belajar tentang indahnya toleransi dari penduduk. Yap, buat saya secara pribadi kalo mau belajar tentang toleransi ya harus mencoba bagaimana hidup sebagai minoritas, lebih dapet feelnya coy. Saya teringat betul tentang peristiwa di suatu petang yang sangat menginspirasi saya. Saat itu 4 orang rekan saya tengah melaksanakan Sholat Maghrib berjama'ah di ruang tengah rumah. Saya kebetulan tidak ikut Sholat Berjama'ah karena berhalangan. Saat itu juga anak-anak yang memang gemar bermain di teras rumah kami tengah asyik bermain kejar-kejaran dan tentu saja menimbulkan suara-suara yang lumayan mengganggu pelaksanaan ibadah Sholat Maghrib di dalam rumah (baca: berisik). Saya pun berusaha menggiring (lo kata kambing??) bocah-bocah tersebut agar menjauhi rumah, namun dasar namanya bocah semakin dilarang semakin menjadi. Untungnya tak lama Mama Napolion (Tetangga yang selalu memasakkan makanan untuk kami) datang untuk mengantar makan malam. Melihat bahwasanya di dalam rumah ada yang sedang Sholat, Mama Napolion seketika membubarkan anak-anak yang bermain di teras seraya berucap yang kurang lebih seperti ini "Sudah pulang sana, di sini ada yang Sembahyang" dan sontak bocah-bocah itu pun lari kocar-kacir, tunggang langgang menuju rumah masing-masing. Saya pun sempat terhenyak sesaat sambil bergumam "Astagah, di sini orang sholat sedemikian di lindungi padahal pada saat yang nyaris bersamaan di pelosok Jawa sana ada rumah ibadah milik aliran tertentu yang dibakar karena dugaan sesat dll" . Yah ini cuma salah satu cerita tentang indahnya toleransi di sana. Penduduk Meos Bekwan secara tidak langsung juga mendidik saya untuk tidak bermain-main dengan ritual do'a. Pada setiap rangkaian acara yang dilaksanakan selalu di mulai dengn do'a dan bukan do'a yang asal sekedar "marilah sejenak menundukkan kepala-berdoa mulai- berdoa selesai" tapi memang berdo'a dengan penuh ketulusan dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ya rabb, saya pun mendadak tertampar dengan religiusitas penduduk Pulau Meos Bekwan. Yap, 18 hari namun penuh makna, itulah kesan yang saya dapat selama berada di Pulau Meos Bekwan. Saya merasa tidak terlalu banyak berbuat untuk penduduk Meos Bekwan, malah justru saya yang mendapat banyak pelajaran dan pengalaman yang berarti dari penduduk Meos Bekwan. Saya juga belum selesai ngajarin Albertus belajar baca. Hiks. Huft, emang belom banyak sih yang saya lakukan dulu tapi saya optimis Tuhan pasti memberi saya kesempatan untuk kembali ke Meos Bekwan suatu saat nanti untuk bisa berbagi lebih banyak dengan penduduk di sana. Suatu hari nanti, PASTI!!
Ke Meos Bekwan aku kan kembali
NB: Makasih bgt buat Kak farahzu (farahzu.blogspot.com) yang telah berkontribusi agar saya kembali menggarap blog ini. Thank youu Kak Farah, cup muah :*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar