Halo-halo
semuanyaaaa…
Kembali berjumpa
di Blog saya yang sudah lama terbengkalai ini. Postingan kali ini diketik
langsung di rumah Pak Paulus yang menjadi orang tua angkat saya selama saya
berada di Desa Long Berang, Kecamatan Mentarang Hulu, Kabupaten Malinau
Propinsi Kalimantan Timur. (sekarang udah jadi Kalimantan Utara). Mungkin
banyak yang bertanya-tanya, apa pula yang sedang dilakukan si Nepi di pelosok
rimba Kalimantan, segalau itu kah hidupnya sampai-sampai ia harus menenangkan
diri di sana?. Hem, saya memang galau tapi kepergian saya ke Desa Long Berang
kali ini sama sekali gak ada kaitannya dengan tingkat kegalauan saya yang sudah
memasuki level over 9000. Jadi apa yang tengah saya lakukan di Desa Long
Berang?. Begini ceritanya(sok serius dulu ahh)….
Kepergian saya kali ini tak jauh beda dengan
kepergian saya yang saya lakukan di pertengahan tahun 2011. Yap, apalagi kalau
bukan cerita tentang upaya mewujudkan butir ke-3 tridharma perguruan tinggi
yaitu Dharma Pengabdian Masyarakat. Desa Long Berang menjadi desa ke-2 tempat
saya mewujudkan hal tersebut. Namun kali ini sedikit berbeda, saya mengemban
amanah yang lebih berat daripada ketika saya berada di Kampung Meos Bekwan,
Raja Ampat sebagai peserta K2N (Kuliah Kerja Nyata) UI 2011. Untuk episode 2012
ini saya kembali terlibat dalam kegiatan K2N UI sebagi pendamping lapangan. Ok
next, jadi sebagai pendamping lapangan di Desa Long Berang saya bertanggung
jawab terhadap 8 ekor anak manusia yang terbagi dalam 2 kelompok program kerja
yaitu Kelompok Kesehatan Untuk Semua dan Kelompok Ekonomi Kreatif. Kedelapan
makhluk (tidak) unyu itu adalah Adel, Asep, Indah, Ningsih, Rian, Fitri,
Ifat dan Yunia. Mereka mendaulat diri
mereka sendiri sebagai Keluarga Kambing. Kata Keluarga dipilih dalam rangka
mempersatukan keanekaragaman suku dan fakultas yang ada di dalam tim. Tapi
kenapa harus Kambing? Yeah, Ini semua berasal dari panggilan kesayangan
bocah-bocah tersebut kepada saya. Kambing adalah singkatan dari Kakak
Pembimbing. Jadilah kami fix menjadi keluarga kambing yang Alhamdulillah masih
doyan makan nasi.
Mari kita lanjut
ke cerita tentang Desa Long Berang. Desa Long Berang dapat dicapai dengan
menggunakan Long Boat dari Malinau dengan memakan waktu kurang lebih sekitar 6
jam, itu pun kalo airnya lagi besar alias banjir alias gak surut tapi kalo lagi
surut, kira-kira bisa memakan waktu satu
hari apalagi kalo berangkat dari Malinaunya diatas jam 12. Oia, untuk mencapai
Malinau sendiri dapat ditempuh dengan dua cara yaitu dengan menggunakan
maskapai komersil seperti Susi Air atau Kal Star dari Tarakan dengan waktu
tempuh setengah jam atau menggunakan
speed boat dari Tarakan dengan waktu tempuh 3 jam saja. Lanjuut….Keluarga
Kambing tiba di Tarakan pada tanggal 23 Juni 2012 dengan menumpang KRI Lambung
Mangkurat. Perjalanan langsung dilanjutkan dengan menggunakan speed boat menuju
Malinau yang langsung disambung dengan menumpang Long Boat yang telah disiapkan
oleh Bapak Camat Mentarang Hulu, Bapak Mathias Seradu. Petualangan pun dimulai.
Perjalanan kami membelah Sungai Mentarang memakan waktu tempuh hingga 1 hari
perjalanan. Hal ini dikarenakan kondisi sungai yang sedang surut sehingga
mengharuskan kami menginap 1 malam di pinggir sungai ( Alhamdulillah bukan di
tengah atau di dalam sungai).
Selama perjalanan, kami sungguh terpukau oleh
hamparan pepohonan di kiri kanan serta
bebatuan induk sebesar rumah ( asli gak bo’ong). Perjalanan harus
dilanjutkan dengan beberapa kali turun naik long boat. Hal ini mesti dilakukan
agar long boat dapat bergerak menembus arus Sungai Mentarang.
Perjalanan kami menggunakan 2 buah long boat. Kami didamping oleh Pak Silvanus dan Pak Fordas yang merupakan pegawai di Kecamatan Mentarang Hulu. Kami sempat menginap satu malam di Rangas Tiu’. Hal ini fardhu ain a.k.a wajib dilakukan demi keselamatan kami semua mengingat pekatnya malam menuju Desa Long Berang. Dari pada terjadi kenapa-kenapa yang bisa jadi gimana-gimana akhirnya kami pun bermalam di pinggir sungai dan baru akan berangkat keesokan harinya.
Perjalanan kami menggunakan 2 buah long boat. Kami didamping oleh Pak Silvanus dan Pak Fordas yang merupakan pegawai di Kecamatan Mentarang Hulu. Kami sempat menginap satu malam di Rangas Tiu’. Hal ini fardhu ain a.k.a wajib dilakukan demi keselamatan kami semua mengingat pekatnya malam menuju Desa Long Berang. Dari pada terjadi kenapa-kenapa yang bisa jadi gimana-gimana akhirnya kami pun bermalam di pinggir sungai dan baru akan berangkat keesokan harinya.
Jeng Jeng Jeng..
Esok pagi pun tiba. Setelah ngupi-ngupi dan ngemie kami pun bergerak menuju jet
pribadi, ehm bukan maksud saya long boat yang terparkir manis di pinggir
sungai. Yap, kami langsung meluncur ke dalam boat tanpa perlu memanggil jasa
valet parking (yakaleeee…). Oia, perjalanan
kami ini cukup kocak karena ternyata kami semua minus Pak Fordas, Pak Silvanus
dan Motoris ( semacama nakhodanya long boat) mengalami wabah boker berjama’ah (
Diduga akibat ngupi pagi-pagi). Alhasil, perjalanan sempat terhenti satu kali
karena saya mesti boker di pinggir kali dan semua orang mesti nungguin saya
selesai boker. Yap hal itu musti saya lakukan mengingat muka saya yang udah
putih pucet bagaikan pasien panu kronis. Mereka pun kasian melihat saya dan
membiarkan saya boker dahulu di belakang pohon tumbang berukuran besar, fiuuh.
Beruntung saat saya boker tidak ada satu pun perahu melintas. Kalo ada mungkin
saya bisa digugat karena mengganggu ketertiban umum, muahaha becanda coy. Kemudian kami pun beristirahat di pertigaan
desa Long Simau, kali ini Indah yang harus menghilang entah kemana untuk buang
hajat. Well, pencernaan keluarga kambing memang sangat lancar jaya.
Di situ kami beristirahat sambil menikmati kuliner khas masyarakat Dayak Lundayeh yang terdiri dari Luba Laya dan Sajian Ikan yang dimasak kuah. Luba Laya sendiri adalah kuliner sejenis lontong yaitu berupa nasi lembek yang dibungkus daun intips (GakTau NamaLatinnya sp). Mau tau gimana rasanya? yakin? mau tau aja apa mau tau banget? *timpuk sandal*. Seperti cerita kuliner di postingan sebelumnya saya cuma bisa bilang rasa top markotop, nyuz markinyus. Karena memang bagi saya secara pribadi kategori rasa makanan Cuma ada 2: enak dan uenak sekali (bilang aja rakus :p). Saya relatif tidak pilah-pilih makanan. Saya memakan semua yang halal, tidak basi, tidak kadaluarsa dan diutamakan yang gratis. Bahkan kadang yang kadaluarsa pun masih saya embat. Makanya kadang saya takjub sama “kreativitas” pedagang yang bahkan bisa mendaur ulang makanan kadaluarsa menjadi makanan layak makan. Mungkin mereka patut mendapat Anugerah Ketahanan Pangan Republik Indonesia ( emang ada??!) *timpuk pake truk sandal* Oke kembali ke Long Berang, setelah cemal-cemil dan poto-poto narsis kami pun melanjutkan perjalanan. Kami kerap kali harus turun dari perahu kemudian melipir ke pinggiran sungai agar perahu dapat menembus arus dengan massa yang lebih ringan. Setelah sempat naik turun perahu beberapa kali kami pun tiba di jeram yang paling fantastis, bombastis dan aduhai. Jeram itu adalah Jeram Belalau.
Oleh karena kefantastisannya kami pun tidak bisa menembus jeram tersebut. Kami pun mesti membongkar semua muatan-melipir lagi- kali ini lebih menantang karena kami mesti melipir sambil membawa muatan yang segambreng banyaknya. setelah menurunkan segala muatan termasuk kardus logistik, tas pribadi dan bahan bakar long boat. Kami pun menarik Long Boat dengan menggunakan tali tambang. Penarikan dilakukan dengan bergotong royong berdasar pada asas kekeluargaan (apaseeh…). Setelah long boat berhasil ditarik melalui jeram yang fantastis, bombastis dan aduhai tersebut kami pun kembali meletakkan muatan-muatan ke dalam long boat. Perjalanan pun kembali dilanjut setelah menunggu Rian selesai boker di lokasi yang gak jauh-jauh banget dari tempat kami melipir.
Di situ kami beristirahat sambil menikmati kuliner khas masyarakat Dayak Lundayeh yang terdiri dari Luba Laya dan Sajian Ikan yang dimasak kuah. Luba Laya sendiri adalah kuliner sejenis lontong yaitu berupa nasi lembek yang dibungkus daun intips (GakTau NamaLatinnya sp). Mau tau gimana rasanya? yakin? mau tau aja apa mau tau banget? *timpuk sandal*. Seperti cerita kuliner di postingan sebelumnya saya cuma bisa bilang rasa top markotop, nyuz markinyus. Karena memang bagi saya secara pribadi kategori rasa makanan Cuma ada 2: enak dan uenak sekali (bilang aja rakus :p). Saya relatif tidak pilah-pilih makanan. Saya memakan semua yang halal, tidak basi, tidak kadaluarsa dan diutamakan yang gratis. Bahkan kadang yang kadaluarsa pun masih saya embat. Makanya kadang saya takjub sama “kreativitas” pedagang yang bahkan bisa mendaur ulang makanan kadaluarsa menjadi makanan layak makan. Mungkin mereka patut mendapat Anugerah Ketahanan Pangan Republik Indonesia ( emang ada??!) *timpuk pake truk sandal* Oke kembali ke Long Berang, setelah cemal-cemil dan poto-poto narsis kami pun melanjutkan perjalanan. Kami kerap kali harus turun dari perahu kemudian melipir ke pinggiran sungai agar perahu dapat menembus arus dengan massa yang lebih ringan. Setelah sempat naik turun perahu beberapa kali kami pun tiba di jeram yang paling fantastis, bombastis dan aduhai. Jeram itu adalah Jeram Belalau.
Oleh karena kefantastisannya kami pun tidak bisa menembus jeram tersebut. Kami pun mesti membongkar semua muatan-melipir lagi- kali ini lebih menantang karena kami mesti melipir sambil membawa muatan yang segambreng banyaknya. setelah menurunkan segala muatan termasuk kardus logistik, tas pribadi dan bahan bakar long boat. Kami pun menarik Long Boat dengan menggunakan tali tambang. Penarikan dilakukan dengan bergotong royong berdasar pada asas kekeluargaan (apaseeh…). Setelah long boat berhasil ditarik melalui jeram yang fantastis, bombastis dan aduhai tersebut kami pun kembali meletakkan muatan-muatan ke dalam long boat. Perjalanan pun kembali dilanjut setelah menunggu Rian selesai boker di lokasi yang gak jauh-jauh banget dari tempat kami melipir.
Selepas Jeram Belalau medan
semakin sulit karena harus menanjak. Pada perjalanan berikutnya tersebut 2 Long
Boat kami pun mesti dikawal oleh 2 buah ketinting (perahu yang berukuran lebih
kecil dari Long Boat). Hal ini bukan karena kami adalah tokoh VIP yang kalo
jalan mesti dikawal pake ngiung-ngiung alias vorijder. Hal ini mesti dilakukan karena ke dua ketinting tersebut
akan menarik Long Boat kami melewati medan yang semakin menanjak tersebut.
Setelah segenap upaya tarik-menarik sekitar Pukul 13.00 tibalah kami semua
dengan penuh suka cita di Desa Long Berang. Kyaaa…akhirnya setelah 6 jam
berjibaku di sungai-an kami pun merapat
di dermaga Desa Long Berang. Sungguh menakjubkan setelah berjam-jam melewati
sungai yang pinggirnya masih pure hutan tetiba kita menemukan sebuah desa di
tengah hutan. Berasa selebritis di ethnic
runaway *plak**sadar woy*guyur aer*. Segini dulu,deh postingan babak
pertamanya. Rasanya Cuma nulis kembali aja udah pegel,yak apalagi kalo kembali
melakoni adegan turun-melipir-tarik perahu-naik lagi. Hahaha. However I still miss Long Berang like a crazy.